Tuesday, December 1, 2009

PAHIT MANIS DI UJUNG GENTENG

Siang itu tidak banyak beda dengan siang lain di hari kerja. Di depan komputer, jari saya men-click mouse untuk me-refresh inbox di email. Sebuah email masuk dari dave, salah satu panitia kegiatan outbound yang baru saya ikuti September lalu.

Subjectnya Explore Ujung Genteng. Email ini seolah mencerahkan jalan yang buntu selama ini. Sejak trip ke Pangandaran Agustus 08, saya dan xtin banyak membahas bagaimana untuk menjelajah Ujung Genteng.

Ujung Genteng terletak di selatan Jawa Barat, menghadap ke Pantai Selatan Jawa. Nama Ujung Genteng diambil dari kata Ujung Gunting, karena lokasinya terletak di ujung dan bentuknya seperti gunting

Perjalanan ini dikenakan biaya sebesar Rp.760 ribu. Ada yang merasa angka itu mahal, ada juga yang merasa murah. Menurut saya sendiri, harga itu fair enough. Meskipun dalam perjalanan ini, terjadi insiden yang membuat saya harus keluar uang banyak.

Berangkat dari hari Jumat (09/10/09) jam 10 pm, peserta dikumpulkan di Parkit Senayan. Saya menuju ke meeting point langsung dari kantor menggunakan busway. Dan insiden petaka pertama pun terjadi, bahkan sebelum perjalanan ke Ujung Genteng dimulai. Pahitnya…

Bertahun-tahun menggunakan jasa aneka bus di Jakarta, inilah kali pertama saya kecolongan. Telefon genggam yang saya masukkan dalam saku celana hilang. Dalam sekejap dan tak terduga, seperti biasa.

Meskipun demikian, saya hanya membutuhkan waktu yang singkat untuk berduka. Saya mencekoki diri dengan kata-kata, “Ah..untung handphone murah. Lagipula, emang udah mau diganti yang baru kok.”

Demikian tragedi pertama terjadi, dan dapat kuterima dengan lapang dada. Kemudian, kami bertiga pun berkumpul di Parkit Senayan. Menyempatkan diri untuk makan bakso Lapangan Tembak Senayan dulu sebelum berangkat.

Menjelang jam keberangkatan, kami segera berkumpul dengan panitia dan peserta lain. Panitia terdiri dari 3 orang. Thank God, all male. Para peserta berjumlah 23 orang, terdiri dari 20 wanita dan 3 lelaki. (What the…?) And one of the male are an under 10 years old kid.

Anyway, tidak bermaksud menjadikan acara jalan-jalan ini sebagai ajang cuci mata, maka kami pun menjalani trip ini dengan bahagia. Hehe…Kami melewati malam pertama tanpa mandi dan sikat gigi.

Delapan jam perjalanan menuju Ujung Genteng. Rute yang dilewati adalah Ciawi, Sukabumi, Pelabuhan Ratu, Desa Surade dan tibalah di Ujung Genteng.

Day 1
Tiba di Penginapan Pondok Hexa, Ujung Genteng pukul 05.30, Sabtu 10 Oktober 09. Satu bungalow berisi 3 kamar tidur, ruang tamu dan dapur. Lantai terasa sedikit lengket, tipikal penginapan dekat pantai.










Overall, saya rasa cukup bersih untuk ukuran harga Rp.250 rb/malam/bungalow, meskipun saya sempat menemukan beberapa ekor cacing halus menggeliat di lantai kamar mandi. Inilah saatnya sandal jepit terasa memiliki peranan penting.

Pukul 8 pagi, kami breakfast nasi goreng ala kadarnya, ditemani sambal dan kerupuk (dan beberapa ekor lalat). Setelah itu kami bersiap-siap untuk berangkat menuju spot pertama, Batu Keris dan Ombak Tujuh. You hear that, Ombak Tujuh namanya. Puitik dan romantis. Seperti Gitar Sebelas, kira-kira begitulah saya membandingkannya.

Sekitar pukul 9 pagi, terdengar suara motor di luar kamar. Makin lama, makin ramai. Itulah rombongan ojek yang sudah standby, siap mengangkut kami semua. Cool…

Saya yang semula mengenakan celana pendek, disuruh oleh dave untuk mengganti dengan celana panjang dan baju berlengan panjang. Dia khawatir medan yang akan kami lewati akan melukai lengan dan kaki.

Setelah mengenakan celana panjang (yang seharusnya menjadi baju tidurku) dan jaket, saya keluar menuju kawanan ojek. Semua peserta sudah duduk di atas motor dengan abang ojek masing-masing.

Menyisakan beberapa motor untuk kami bertiga dan panitia. Akhirnya kami pun berangkat dengan ojek masing-masing. Para ojek mengenakan topi, jaket dan celana panjang. Dan petualangan pun dimulai dengan putaran gas yang menghentak maju motor.

Sekitar 1 jam di atas motor, melewati padang pasir dan hutan. Meskipun mungkin terdengar aneh, but I feel this is the best part of the trip. Very adventurous.











Dari dataran hingga tanah curam, dari padang luas hingga jalan setapak sempit, dari tanah kering hingga parit berbatu. Sungguh pengalaman yang berbeda dan exciting. Ternyata memang sungguh beruntung saya mengenakan celana panjang dan jaket, karena kami melaju membelah jalan setapak yang tertutup semak ranting yang tajam.

Tidak hanya tangan dan kaki yang tergores tajamnya ranting kering sisa kemarau, beberapa kali pipi dan kepala digaruk ujung ranting dan batang pohon yang menjuntai turun.

Setengah jam pertama saya masih dapat menjepretkan kamera merekam indahnya alam, meski penuh guncangan di atas motor. Menit-menit berikutnya saya lebih banyak melindung lensa kamera agar tak tergores ranting. Semakin lama, saya malah membungkukkan badan berlindung di balik abang ojek, ranting semakin tajam dan serasa menggosok seluruh tubuh.









Beberapa kali para penumpang motor harus turun dari motornya untuk menyeberangi medan yang curam ataupun cerukan berbatu yang dilewati air. Sengaja saya lepaskan sandal. Saya jejakkan kakiku yang telanjang ke atas batu-batu licin. Merasakan aliran air sejuk menyusup di antara jari-jari kaki.

Pemandangan indah segera kurekam dalam kameraku. Sayangnya kami hanya melintasi daerah itu tanpa berhenti lebih lama. Dan karena saya sibuk memoto dengan kameraku, saya menjadi berada di posisi buntut iring-iringan motor. Sekilas matanya menatapku, sepersekian detik yang menyorotkan rasa khawatirnya.









Hampir satu jam di atas motor, tiba-tiba kami keluar dari cengkeraman semak-semak tinggi. Menyeruak keluar ke alam terbuka, di depan saya hamparan pantai dengan ombak yang tinggi. Air laut cukup bening, tampak lumut pada batu-batu di atas pasir.














Objek wisata pertama adalah Batu Keris. Beberapa batu besar menjulang tinggi menantang untuk dipanjati. Di beberapa spot di atas batu, ombak terasa tinggi dan dekat. Sewaktu-waktu siap mengejutkan kami dengan hempasan air penuh buih menyapu seluruh batu tempat kami berpijak.









Tidak heran sesekali terdengar teriakan para wanita yang histeris dikuyupi ombak. Di sisi lain pantai, tampak hamparan batu berlumut digenangi air laut. Tidak banyak yang bisa dilakukan di Batu Keris selain untuk berfoto.
Cahaya terik siang tidak memberi lighting yang bagus untuk foto. Saya bermain komposisi dan menunggu momen pecahnya ombak yang pas untuk difoto. Sedangkan sisi lain pantai yang berupa batu lumut yang digenangi air, tidak banyak menarik hati saya.









Ombak Tujuh ternyata tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Dari titik ini kita dapat melihat ombak menggulung dari arah kiri menuju pantai di sisi kanan. Ombak Tujuh memiliki batu-batu karang sebagai latar depan dan hutan sebagai latar belakang.

Berteduh di bawah pohon, kami pun menikmati makan siang kami yang dikemas dalam kotak. Panitia menjadwalkan waktu yang cukup panjang untuk tempat ini. Saya yang memang sejak semula berencana untuk berenang, berusaha mengajak peserta lain untuk berenang juga.

Tak satupun dari mereka yang berniat untuk mencemplungkan diri ke dalam laut, kecuali dua anak kecil yang ikut dalam trip ini. Di saat seperti inilah, terasa sangat penting untuk memiliki teman seperjalanan yang memiliki satu visi san misi.

Untungnya xtine akhirnya memutuskan mau berenang juga, maka saya pun tanpa berpikir lagi, masuk ke laut dan berenang. Tak lama kemudian, sepasang suami istri dalam trip ini pun ikut berenang.

Kami berempat berenang terombang ambing ombak, mendorong kita ke arah karang. Karang yang ternyata tajam tersebut beberapa kali menggores kulit. Jempol kaki dan lututku pun terluka.














Tidak tahan dengan karang tajam dan luka yang mulai terasa perih, kami pun tidak berenang lama. Saya mengganti baju di balik batu dan pohon, dibantu xtine yang membantu memegangi sarung bali sebagai tirai. Diliputi rasa was-was karena penduduk setempat tampak sesekali melintas, tapi ya sudahlah…

Setelah itu, para peserta lain menuju ke karang besar di depan, untuk melihat ombak yang menggulung secara dekat. Konon, nama Ombak Tujuh digunakan karena pada saat tertentu, ombak yang menggulung ada sebanyak tujuh lapisan sampai pecah mendekati pantai.

Saya, xtine dan nono pun beranjak menuju batu besar jauh di depan itu. Saat melewati cerukan yang terendam air laut, nono meminta tolong saya untuk memoto dirinya dengan menggunakan kameranya.

Setelah menjepret, saat saya mengembalikan kamera ke nono, pada saat inilah insiden celaka kedua terjadi. Belum mantap kamera dalam genggamannya, kamera sudah saya lepas. Kamera pun jatuh ke cerukan yang terendam air laut itu.

Spontan kami berdua menjerit. But it didn’t slow down the time or againts the gravitation. So it falled anyway. Setelah itu, yang saya ingat adalah perasaan tidak enak yang menghantuiku, bahkan sampai trip ini lama berlalu. Kamera itu rusak total. Until here, I think you already get the moral of the story.














Saya berusaha mengesampingkan duka itu, dan berusaha semampuku untuk menikmati sisa perjalanan (and honestly, it didn’t work at all). Setelah dari Ombak Tujuh, kami menuju ke Karang Cantigi.

Kami melakukan trekking ringan melewati tempat saya berganti baju renang di balik pohon dan batu. Sekitar 5 menit berjalan, tampaklah Karang Cantigi. Batu karang besar tumpuk menumpuk, dengan ombak besar dan tinggi sebagai latar belakang.











Indahnya kurang memukau hatiku, karena selimut duka masih kuat membekap hati. Berusaha kujepret nono sesering mungkin untuk membayar salahku, dan membeli ampun darinya. Aku sedih.

Tujuan berikutnya adalah Pantai Cipanarikan. Sesungguhnya inilah objek wisata terindah dalam trip ini. Perjalanan sekitar 45 menit dengan motor dari titik sebelumnya. disuguhkan kelapa muda oleh panitia. What a sweet surprise.










Pantai Cipanarikan berupa hamparan pantai luas dan panjang. Hembusan angin membentuk garis-garis pada pasir. Pasir halus terhampar luas sepanjang mata memandang, mengundang saya untuk merebah di atasnya.










Pasir halusnya terasa lembut. Suasana menjelang senjanya mengingatkanku pada roman “Negeri Senja”-nya Seno Gumira Ajidarma. Kembali sisi drama dan senduku menguasai rasa. Seandainya tidak terjadi insiden kamera jatuh, pasti inilah titik di mana saya merasa paling bahagia.

Di sisi lain pantai, tampak danau yang tenang dan indah. Suasana senjanya terasa menyenangkan untuk menyepi dan menyendiri. Suatu hari nanti, saya ingin kembali ke sini, duduk di atas pasir dan menulis puisi tentang jingga dan senja.










Setelah puas berfoto, kami pun menuju ke Pangumbahan Beach, yang berada di garis pantai yang sama dengan Cipanarikan. Kami berjalan sepanjang garis pantai ke arah kiri, menjauhi danau.

Perjalanan terasa melelahkan karena kami menapak di atas pasir yang tidak padat. Seorang nelayan melintas mendahului kami, melangkah dengan mantap dengan ritme yang tetap dan rapat. Tentu dia sudah sangat terbiasa berjalan di atas pasir.









Di Pantai Pangumbahan ini kami menyaksikan pelepasan tukik (anak penyu) ke pantai. Puluhan tukik diletakkan dalam baskom besar. Mengayunkan kaki menginjak yang di bawahnya, berusaha menggapai tinggi.

Saya memegang seekor tukik, matanya tampak terpejam, dan 2 kaki depannya menyibak seperti renang gaya kodok. Lucu dan rapuh. Mengundang simpatik dan rasa sayang.









Seorang bapak memberi aba-aba untuk melepaskan tukik. Saya melepaskan si tukik ke pasir. Anak penyu mungil dan rapuh. Tiga hari umurnya, berjalan gegas dengan langkah-langkah kecil, menuju laut ombak tinggi menghempas.















Saya menyaksikan dengan kagum sekaligus iba. Sebuah ombak besar datang, dan menggulungkan semua tukik ke arah pantai lagi. Kami serentak menjerit, bagaimana nasib para tukik kecil itu?

Bapak yang tadi memerintahkan kami untuk tetap berdiri di tempat masing-masing, jangan sampai menginjak tukik yang terhempas ke pantai lagi. Para tukik pun kembali berjalan ke laut. I’m so amazed, those little creatures walked into the wild ocean. Somehow, I felt they strengthen me to face this wild world.

Langit mulai gelap setelah acara pelepasan tukik. Perut mulai terasa lapar, dan badan pun lelah dan lengket karena keringat dan air laut. Kami pun kembali menuju penginapan dengan menumpang ojek lagi.











Tiba di kamar, kami mandi bergantian. Setelah selesai mandi dan membereskan baju penuh pasir, kami pun menuju ke tempat makan. Menu makan malam agak di luar dugaan, mengingat sejak tiba di penginapan, makanan yang disajikan cukup sederhana.









Makan malam berupa menu seafood. Ikan bakar, udang goreng mentega, cumi goreng tepung, dan cah kangkung sangat menggiurkan. Dan xtin sempat memesan lobster ke abang ojek yang mengangkut dirinya. Lobster dimasak asam manis dan disajikan di meja kami waktu makan malam. Lobster dikenai seharga 50 ribu.

Usai makan malam, kami langsung masuk kamar masing-masing untuk tidur. Mengingat pengalaman waktu berlibur ke Bangka September kemarin, saya berdoa lebih panjang sebelum tidur, berharap dapat tidur nyenyak.

Tengah malam saya sempat terbangun sesaat, sepertinya oleh dengkuran saya sendiri (padahal kata xtin dan nono, saya tidak mengdengkur). Tapi, sisanya saya tertidur nyenyak sampai pagi.

Keesokannya, sarapan siap disantap jam 7 pagi. Kami sempat berbincang dengan Petrus, salah satu panitia yang menjadi tour guide perjalanan ini. Dia tahu banyak mengenai objek wisata di Jawa dan sekitar.

Setelah sarapan pagi, kami check out dari penginapan. Dengan menggunakan bus, kami berangkat menuju Curug Cikaso. Kami melewati beberapa objek wisata lain yang tak kami kunjungi, seperti Tanah Lot Amanda Ratu.

Dari kejauhan tampak batu menyerupai Tanah Lot di Bali, dan dari depan tampak gerbang tertulis Amanda Ratu, semacam resort yang cukup elit sepertinya. Kami hanya melintas dari depan saja.

Dia bergabung dengan kami di belakang, calming personality. Hampir dua jam setelah check out, kami diturunkan dari bus karena perjalanan akan dilanjutkan dengan perahu. Kami menunggu perahu dengan daya tampung 12 orang, untuk mengangkut kami.










Sekilas mengingatkan saya pada Green Canyon di Pangandaran. Tapi, yang di sini sungainya lebih luas dengan hutan yang lebih lebat di belakangnya. Di dalam perahu kurang lebih 10-15 menit, tibalah kami di Curug Cikaso.

Curug Cikaso ternyata terkenal dengan air terjunnya yang berjejer tiga ke samping. Pengunjung selain kami, kebanyakan adalah remaja yang masih mengenakan seragam sekolah mereka.











Kalau bukan karena panas matahari menjelang jam 11 siang, saya ingin lebih berlama-lama di depan air terjun. Seharusnya di sini lebih cocok untuk berenang. Di sini juga tersedia toilet darurat, yang cukuplah untuk berganti baju setelah berenang.

Kemudian kami pun berangkat dengan bus menuju ke objek wisata terakhir, Curug Cigangsa. Curug Cigangsa merupakan air terjun dengan air yang tidak deras, mengalir pelan menyusuri batu alam yang bertekstur.

Untuk mencapai Curug Cigangsa, kami melewati rumah penduduk dan sawah-sawah. Kami menyusuri aliran air di antara cerukan batu-batu dan berakhir di ujung bibir jurang. Kami berada di atas, di titik asal di mana air terjun akan mengalir turun.

Di titik tinggi itu, terhampar pemandangan hutan luas yang hijau. Nun jauh di bawah, terlihat kolam batu yang menampung air terjun. Ngeri juga membayangkan diriku terjun ke bawah.















Kemudian kami pun berjalan turun menuju ke bawah, untuk melihat aliran air terjun Curug Cigangsa. Di bawah terasa tenang dan sejuk dinaungi batu besar meskipun matahari siang sedang bersinar.

Melihat aliran air pada batu-batu alam di Curug Cigangsa, menyadarkanku ternyata pemandangan inilah yang biasanya ingin dihadirkan dalam interior rumah-rumah mewah di Jakarta. Interior designer mengimitasi batu-batu alam semacam ini dan mengalirkan air di atasnya, untuk menghadirkan suasana sejuk seperti yang saya rasakan sekarang.















Beberapa peserta lain bermain di atas batu besar, membiarkan air terjun membasahi mereka. Tertawa cikikikan malu-malu, sambil menciprati temannya yang lain. Saya sangat iri dan ingin ikut, tapi mood tidak mendukung. Sudah enggan berganti baju lagi.

Setelah dari situ, kami kembali ke atas menuju ke rumah penduduk untuk makan siang. Beberapa teman yang basah habis berenang, mandi di rumah ini. Makanan disajikan di atas lantai di beranda rumah.










Menu makan siang adalah nasi dengan ayam goreng, sayur asem, tahu goreng, teri kacang, dan kerupuk plus sambal yang sangat pedas. Rasa masakan tidak terlalu spesial, namun karena dalam kondisi lapar dan makan ramai-ramai, makan siang terasa lebih menyenangkan.

Makan siang tadi menutup rangkaian perjalanan di Ujung Genteng. Kami pun berangkat menuju Jakarta sekitar jam 3 sore. Perjalanan pulang terasa lebih panjang, karena macet di Sukabumi dan tentunya macet juga di Jakarta.

Tiba di Jakarta sekitar pukul 10 malam. Lelah. Tidak seperti perjalanan yang lalu-lalu, saya pulang ke rumah tanpa perasaan bahagia atau puas. Saya tidak mampu melawan rasa sedih yang masih menyelinap di celah hati.

Beberapa hari sesudah kembali dari trip Ujung Genteng, xtin meng-upload beberapa foto kami di Ujung Genteng. Tak lama kemudian, ada satu pesan dalam inbox Facebook saya. Dari seorang teman lama waktu sma, Oya.

“Say, gue liat foto lu ada yang di Ujung Genteng yah? Kalo ke Ujung Genteng jangan nginep di Hexa, di Amanda Ratu dong.”
Kenapa yah?
“Itu punya laki gue…hehehe..promosi. Liat webnya di http://www.amandaratu.com/
Haha..ternyata…
(est)