Tuesday, December 1, 2009

PAHIT MANIS DI UJUNG GENTENG

Siang itu tidak banyak beda dengan siang lain di hari kerja. Di depan komputer, jari saya men-click mouse untuk me-refresh inbox di email. Sebuah email masuk dari dave, salah satu panitia kegiatan outbound yang baru saya ikuti September lalu.

Subjectnya Explore Ujung Genteng. Email ini seolah mencerahkan jalan yang buntu selama ini. Sejak trip ke Pangandaran Agustus 08, saya dan xtin banyak membahas bagaimana untuk menjelajah Ujung Genteng.

Ujung Genteng terletak di selatan Jawa Barat, menghadap ke Pantai Selatan Jawa. Nama Ujung Genteng diambil dari kata Ujung Gunting, karena lokasinya terletak di ujung dan bentuknya seperti gunting

Perjalanan ini dikenakan biaya sebesar Rp.760 ribu. Ada yang merasa angka itu mahal, ada juga yang merasa murah. Menurut saya sendiri, harga itu fair enough. Meskipun dalam perjalanan ini, terjadi insiden yang membuat saya harus keluar uang banyak.

Berangkat dari hari Jumat (09/10/09) jam 10 pm, peserta dikumpulkan di Parkit Senayan. Saya menuju ke meeting point langsung dari kantor menggunakan busway. Dan insiden petaka pertama pun terjadi, bahkan sebelum perjalanan ke Ujung Genteng dimulai. Pahitnya…

Bertahun-tahun menggunakan jasa aneka bus di Jakarta, inilah kali pertama saya kecolongan. Telefon genggam yang saya masukkan dalam saku celana hilang. Dalam sekejap dan tak terduga, seperti biasa.

Meskipun demikian, saya hanya membutuhkan waktu yang singkat untuk berduka. Saya mencekoki diri dengan kata-kata, “Ah..untung handphone murah. Lagipula, emang udah mau diganti yang baru kok.”

Demikian tragedi pertama terjadi, dan dapat kuterima dengan lapang dada. Kemudian, kami bertiga pun berkumpul di Parkit Senayan. Menyempatkan diri untuk makan bakso Lapangan Tembak Senayan dulu sebelum berangkat.

Menjelang jam keberangkatan, kami segera berkumpul dengan panitia dan peserta lain. Panitia terdiri dari 3 orang. Thank God, all male. Para peserta berjumlah 23 orang, terdiri dari 20 wanita dan 3 lelaki. (What the…?) And one of the male are an under 10 years old kid.

Anyway, tidak bermaksud menjadikan acara jalan-jalan ini sebagai ajang cuci mata, maka kami pun menjalani trip ini dengan bahagia. Hehe…Kami melewati malam pertama tanpa mandi dan sikat gigi.

Delapan jam perjalanan menuju Ujung Genteng. Rute yang dilewati adalah Ciawi, Sukabumi, Pelabuhan Ratu, Desa Surade dan tibalah di Ujung Genteng.

Day 1
Tiba di Penginapan Pondok Hexa, Ujung Genteng pukul 05.30, Sabtu 10 Oktober 09. Satu bungalow berisi 3 kamar tidur, ruang tamu dan dapur. Lantai terasa sedikit lengket, tipikal penginapan dekat pantai.










Overall, saya rasa cukup bersih untuk ukuran harga Rp.250 rb/malam/bungalow, meskipun saya sempat menemukan beberapa ekor cacing halus menggeliat di lantai kamar mandi. Inilah saatnya sandal jepit terasa memiliki peranan penting.

Pukul 8 pagi, kami breakfast nasi goreng ala kadarnya, ditemani sambal dan kerupuk (dan beberapa ekor lalat). Setelah itu kami bersiap-siap untuk berangkat menuju spot pertama, Batu Keris dan Ombak Tujuh. You hear that, Ombak Tujuh namanya. Puitik dan romantis. Seperti Gitar Sebelas, kira-kira begitulah saya membandingkannya.

Sekitar pukul 9 pagi, terdengar suara motor di luar kamar. Makin lama, makin ramai. Itulah rombongan ojek yang sudah standby, siap mengangkut kami semua. Cool…

Saya yang semula mengenakan celana pendek, disuruh oleh dave untuk mengganti dengan celana panjang dan baju berlengan panjang. Dia khawatir medan yang akan kami lewati akan melukai lengan dan kaki.

Setelah mengenakan celana panjang (yang seharusnya menjadi baju tidurku) dan jaket, saya keluar menuju kawanan ojek. Semua peserta sudah duduk di atas motor dengan abang ojek masing-masing.

Menyisakan beberapa motor untuk kami bertiga dan panitia. Akhirnya kami pun berangkat dengan ojek masing-masing. Para ojek mengenakan topi, jaket dan celana panjang. Dan petualangan pun dimulai dengan putaran gas yang menghentak maju motor.

Sekitar 1 jam di atas motor, melewati padang pasir dan hutan. Meskipun mungkin terdengar aneh, but I feel this is the best part of the trip. Very adventurous.











Dari dataran hingga tanah curam, dari padang luas hingga jalan setapak sempit, dari tanah kering hingga parit berbatu. Sungguh pengalaman yang berbeda dan exciting. Ternyata memang sungguh beruntung saya mengenakan celana panjang dan jaket, karena kami melaju membelah jalan setapak yang tertutup semak ranting yang tajam.

Tidak hanya tangan dan kaki yang tergores tajamnya ranting kering sisa kemarau, beberapa kali pipi dan kepala digaruk ujung ranting dan batang pohon yang menjuntai turun.

Setengah jam pertama saya masih dapat menjepretkan kamera merekam indahnya alam, meski penuh guncangan di atas motor. Menit-menit berikutnya saya lebih banyak melindung lensa kamera agar tak tergores ranting. Semakin lama, saya malah membungkukkan badan berlindung di balik abang ojek, ranting semakin tajam dan serasa menggosok seluruh tubuh.









Beberapa kali para penumpang motor harus turun dari motornya untuk menyeberangi medan yang curam ataupun cerukan berbatu yang dilewati air. Sengaja saya lepaskan sandal. Saya jejakkan kakiku yang telanjang ke atas batu-batu licin. Merasakan aliran air sejuk menyusup di antara jari-jari kaki.

Pemandangan indah segera kurekam dalam kameraku. Sayangnya kami hanya melintasi daerah itu tanpa berhenti lebih lama. Dan karena saya sibuk memoto dengan kameraku, saya menjadi berada di posisi buntut iring-iringan motor. Sekilas matanya menatapku, sepersekian detik yang menyorotkan rasa khawatirnya.









Hampir satu jam di atas motor, tiba-tiba kami keluar dari cengkeraman semak-semak tinggi. Menyeruak keluar ke alam terbuka, di depan saya hamparan pantai dengan ombak yang tinggi. Air laut cukup bening, tampak lumut pada batu-batu di atas pasir.














Objek wisata pertama adalah Batu Keris. Beberapa batu besar menjulang tinggi menantang untuk dipanjati. Di beberapa spot di atas batu, ombak terasa tinggi dan dekat. Sewaktu-waktu siap mengejutkan kami dengan hempasan air penuh buih menyapu seluruh batu tempat kami berpijak.









Tidak heran sesekali terdengar teriakan para wanita yang histeris dikuyupi ombak. Di sisi lain pantai, tampak hamparan batu berlumut digenangi air laut. Tidak banyak yang bisa dilakukan di Batu Keris selain untuk berfoto.
Cahaya terik siang tidak memberi lighting yang bagus untuk foto. Saya bermain komposisi dan menunggu momen pecahnya ombak yang pas untuk difoto. Sedangkan sisi lain pantai yang berupa batu lumut yang digenangi air, tidak banyak menarik hati saya.









Ombak Tujuh ternyata tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Dari titik ini kita dapat melihat ombak menggulung dari arah kiri menuju pantai di sisi kanan. Ombak Tujuh memiliki batu-batu karang sebagai latar depan dan hutan sebagai latar belakang.

Berteduh di bawah pohon, kami pun menikmati makan siang kami yang dikemas dalam kotak. Panitia menjadwalkan waktu yang cukup panjang untuk tempat ini. Saya yang memang sejak semula berencana untuk berenang, berusaha mengajak peserta lain untuk berenang juga.

Tak satupun dari mereka yang berniat untuk mencemplungkan diri ke dalam laut, kecuali dua anak kecil yang ikut dalam trip ini. Di saat seperti inilah, terasa sangat penting untuk memiliki teman seperjalanan yang memiliki satu visi san misi.

Untungnya xtine akhirnya memutuskan mau berenang juga, maka saya pun tanpa berpikir lagi, masuk ke laut dan berenang. Tak lama kemudian, sepasang suami istri dalam trip ini pun ikut berenang.

Kami berempat berenang terombang ambing ombak, mendorong kita ke arah karang. Karang yang ternyata tajam tersebut beberapa kali menggores kulit. Jempol kaki dan lututku pun terluka.














Tidak tahan dengan karang tajam dan luka yang mulai terasa perih, kami pun tidak berenang lama. Saya mengganti baju di balik batu dan pohon, dibantu xtine yang membantu memegangi sarung bali sebagai tirai. Diliputi rasa was-was karena penduduk setempat tampak sesekali melintas, tapi ya sudahlah…

Setelah itu, para peserta lain menuju ke karang besar di depan, untuk melihat ombak yang menggulung secara dekat. Konon, nama Ombak Tujuh digunakan karena pada saat tertentu, ombak yang menggulung ada sebanyak tujuh lapisan sampai pecah mendekati pantai.

Saya, xtine dan nono pun beranjak menuju batu besar jauh di depan itu. Saat melewati cerukan yang terendam air laut, nono meminta tolong saya untuk memoto dirinya dengan menggunakan kameranya.

Setelah menjepret, saat saya mengembalikan kamera ke nono, pada saat inilah insiden celaka kedua terjadi. Belum mantap kamera dalam genggamannya, kamera sudah saya lepas. Kamera pun jatuh ke cerukan yang terendam air laut itu.

Spontan kami berdua menjerit. But it didn’t slow down the time or againts the gravitation. So it falled anyway. Setelah itu, yang saya ingat adalah perasaan tidak enak yang menghantuiku, bahkan sampai trip ini lama berlalu. Kamera itu rusak total. Until here, I think you already get the moral of the story.














Saya berusaha mengesampingkan duka itu, dan berusaha semampuku untuk menikmati sisa perjalanan (and honestly, it didn’t work at all). Setelah dari Ombak Tujuh, kami menuju ke Karang Cantigi.

Kami melakukan trekking ringan melewati tempat saya berganti baju renang di balik pohon dan batu. Sekitar 5 menit berjalan, tampaklah Karang Cantigi. Batu karang besar tumpuk menumpuk, dengan ombak besar dan tinggi sebagai latar belakang.











Indahnya kurang memukau hatiku, karena selimut duka masih kuat membekap hati. Berusaha kujepret nono sesering mungkin untuk membayar salahku, dan membeli ampun darinya. Aku sedih.

Tujuan berikutnya adalah Pantai Cipanarikan. Sesungguhnya inilah objek wisata terindah dalam trip ini. Perjalanan sekitar 45 menit dengan motor dari titik sebelumnya. disuguhkan kelapa muda oleh panitia. What a sweet surprise.










Pantai Cipanarikan berupa hamparan pantai luas dan panjang. Hembusan angin membentuk garis-garis pada pasir. Pasir halus terhampar luas sepanjang mata memandang, mengundang saya untuk merebah di atasnya.










Pasir halusnya terasa lembut. Suasana menjelang senjanya mengingatkanku pada roman “Negeri Senja”-nya Seno Gumira Ajidarma. Kembali sisi drama dan senduku menguasai rasa. Seandainya tidak terjadi insiden kamera jatuh, pasti inilah titik di mana saya merasa paling bahagia.

Di sisi lain pantai, tampak danau yang tenang dan indah. Suasana senjanya terasa menyenangkan untuk menyepi dan menyendiri. Suatu hari nanti, saya ingin kembali ke sini, duduk di atas pasir dan menulis puisi tentang jingga dan senja.










Setelah puas berfoto, kami pun menuju ke Pangumbahan Beach, yang berada di garis pantai yang sama dengan Cipanarikan. Kami berjalan sepanjang garis pantai ke arah kiri, menjauhi danau.

Perjalanan terasa melelahkan karena kami menapak di atas pasir yang tidak padat. Seorang nelayan melintas mendahului kami, melangkah dengan mantap dengan ritme yang tetap dan rapat. Tentu dia sudah sangat terbiasa berjalan di atas pasir.









Di Pantai Pangumbahan ini kami menyaksikan pelepasan tukik (anak penyu) ke pantai. Puluhan tukik diletakkan dalam baskom besar. Mengayunkan kaki menginjak yang di bawahnya, berusaha menggapai tinggi.

Saya memegang seekor tukik, matanya tampak terpejam, dan 2 kaki depannya menyibak seperti renang gaya kodok. Lucu dan rapuh. Mengundang simpatik dan rasa sayang.









Seorang bapak memberi aba-aba untuk melepaskan tukik. Saya melepaskan si tukik ke pasir. Anak penyu mungil dan rapuh. Tiga hari umurnya, berjalan gegas dengan langkah-langkah kecil, menuju laut ombak tinggi menghempas.















Saya menyaksikan dengan kagum sekaligus iba. Sebuah ombak besar datang, dan menggulungkan semua tukik ke arah pantai lagi. Kami serentak menjerit, bagaimana nasib para tukik kecil itu?

Bapak yang tadi memerintahkan kami untuk tetap berdiri di tempat masing-masing, jangan sampai menginjak tukik yang terhempas ke pantai lagi. Para tukik pun kembali berjalan ke laut. I’m so amazed, those little creatures walked into the wild ocean. Somehow, I felt they strengthen me to face this wild world.

Langit mulai gelap setelah acara pelepasan tukik. Perut mulai terasa lapar, dan badan pun lelah dan lengket karena keringat dan air laut. Kami pun kembali menuju penginapan dengan menumpang ojek lagi.











Tiba di kamar, kami mandi bergantian. Setelah selesai mandi dan membereskan baju penuh pasir, kami pun menuju ke tempat makan. Menu makan malam agak di luar dugaan, mengingat sejak tiba di penginapan, makanan yang disajikan cukup sederhana.









Makan malam berupa menu seafood. Ikan bakar, udang goreng mentega, cumi goreng tepung, dan cah kangkung sangat menggiurkan. Dan xtin sempat memesan lobster ke abang ojek yang mengangkut dirinya. Lobster dimasak asam manis dan disajikan di meja kami waktu makan malam. Lobster dikenai seharga 50 ribu.

Usai makan malam, kami langsung masuk kamar masing-masing untuk tidur. Mengingat pengalaman waktu berlibur ke Bangka September kemarin, saya berdoa lebih panjang sebelum tidur, berharap dapat tidur nyenyak.

Tengah malam saya sempat terbangun sesaat, sepertinya oleh dengkuran saya sendiri (padahal kata xtin dan nono, saya tidak mengdengkur). Tapi, sisanya saya tertidur nyenyak sampai pagi.

Keesokannya, sarapan siap disantap jam 7 pagi. Kami sempat berbincang dengan Petrus, salah satu panitia yang menjadi tour guide perjalanan ini. Dia tahu banyak mengenai objek wisata di Jawa dan sekitar.

Setelah sarapan pagi, kami check out dari penginapan. Dengan menggunakan bus, kami berangkat menuju Curug Cikaso. Kami melewati beberapa objek wisata lain yang tak kami kunjungi, seperti Tanah Lot Amanda Ratu.

Dari kejauhan tampak batu menyerupai Tanah Lot di Bali, dan dari depan tampak gerbang tertulis Amanda Ratu, semacam resort yang cukup elit sepertinya. Kami hanya melintas dari depan saja.

Dia bergabung dengan kami di belakang, calming personality. Hampir dua jam setelah check out, kami diturunkan dari bus karena perjalanan akan dilanjutkan dengan perahu. Kami menunggu perahu dengan daya tampung 12 orang, untuk mengangkut kami.










Sekilas mengingatkan saya pada Green Canyon di Pangandaran. Tapi, yang di sini sungainya lebih luas dengan hutan yang lebih lebat di belakangnya. Di dalam perahu kurang lebih 10-15 menit, tibalah kami di Curug Cikaso.

Curug Cikaso ternyata terkenal dengan air terjunnya yang berjejer tiga ke samping. Pengunjung selain kami, kebanyakan adalah remaja yang masih mengenakan seragam sekolah mereka.











Kalau bukan karena panas matahari menjelang jam 11 siang, saya ingin lebih berlama-lama di depan air terjun. Seharusnya di sini lebih cocok untuk berenang. Di sini juga tersedia toilet darurat, yang cukuplah untuk berganti baju setelah berenang.

Kemudian kami pun berangkat dengan bus menuju ke objek wisata terakhir, Curug Cigangsa. Curug Cigangsa merupakan air terjun dengan air yang tidak deras, mengalir pelan menyusuri batu alam yang bertekstur.

Untuk mencapai Curug Cigangsa, kami melewati rumah penduduk dan sawah-sawah. Kami menyusuri aliran air di antara cerukan batu-batu dan berakhir di ujung bibir jurang. Kami berada di atas, di titik asal di mana air terjun akan mengalir turun.

Di titik tinggi itu, terhampar pemandangan hutan luas yang hijau. Nun jauh di bawah, terlihat kolam batu yang menampung air terjun. Ngeri juga membayangkan diriku terjun ke bawah.















Kemudian kami pun berjalan turun menuju ke bawah, untuk melihat aliran air terjun Curug Cigangsa. Di bawah terasa tenang dan sejuk dinaungi batu besar meskipun matahari siang sedang bersinar.

Melihat aliran air pada batu-batu alam di Curug Cigangsa, menyadarkanku ternyata pemandangan inilah yang biasanya ingin dihadirkan dalam interior rumah-rumah mewah di Jakarta. Interior designer mengimitasi batu-batu alam semacam ini dan mengalirkan air di atasnya, untuk menghadirkan suasana sejuk seperti yang saya rasakan sekarang.















Beberapa peserta lain bermain di atas batu besar, membiarkan air terjun membasahi mereka. Tertawa cikikikan malu-malu, sambil menciprati temannya yang lain. Saya sangat iri dan ingin ikut, tapi mood tidak mendukung. Sudah enggan berganti baju lagi.

Setelah dari situ, kami kembali ke atas menuju ke rumah penduduk untuk makan siang. Beberapa teman yang basah habis berenang, mandi di rumah ini. Makanan disajikan di atas lantai di beranda rumah.










Menu makan siang adalah nasi dengan ayam goreng, sayur asem, tahu goreng, teri kacang, dan kerupuk plus sambal yang sangat pedas. Rasa masakan tidak terlalu spesial, namun karena dalam kondisi lapar dan makan ramai-ramai, makan siang terasa lebih menyenangkan.

Makan siang tadi menutup rangkaian perjalanan di Ujung Genteng. Kami pun berangkat menuju Jakarta sekitar jam 3 sore. Perjalanan pulang terasa lebih panjang, karena macet di Sukabumi dan tentunya macet juga di Jakarta.

Tiba di Jakarta sekitar pukul 10 malam. Lelah. Tidak seperti perjalanan yang lalu-lalu, saya pulang ke rumah tanpa perasaan bahagia atau puas. Saya tidak mampu melawan rasa sedih yang masih menyelinap di celah hati.

Beberapa hari sesudah kembali dari trip Ujung Genteng, xtin meng-upload beberapa foto kami di Ujung Genteng. Tak lama kemudian, ada satu pesan dalam inbox Facebook saya. Dari seorang teman lama waktu sma, Oya.

“Say, gue liat foto lu ada yang di Ujung Genteng yah? Kalo ke Ujung Genteng jangan nginep di Hexa, di Amanda Ratu dong.”
Kenapa yah?
“Itu punya laki gue…hehehe..promosi. Liat webnya di http://www.amandaratu.com/
Haha..ternyata…
(est)

Thursday, September 17, 2009

Lepas Lelah ke Pulau Bangka

Diawali dengan teriakan mami bos mendesak closing penjualan asuransi (sementara saya hanyalah staff bank yang tidak paham asuransi), kemudian Mak muncul dengan ide dadakannya mengajak saya jalan-jalan ke Bangka, akhirnya saya melihat ini sebagai sign dari Tuhan yang mungkin bersabda kepada saya,”Its time for you to take a break. Let me take over your burden for a while”.

Hari Pertama
So, Sabtu pertama bulan September 09, terbanglah saya, Xtin, Mak, dan Korob@ ke Bangka. Kombinasi peserta yang tidak lazim memang, 3 female versus 1 male, fresh meat. Kehadiran Korob@ memberi warna tersendiri dalam trip ini (and lets discuss it deeper in other feature).

Terbang dari Jakarta-Pangkal Pinang dengan Lion Air dengan tiket seharga Rp.299 ribu. Pesawat siang, dan waktu tempuh pesawat cukup singkat, kurang dari 1 jam. Tiba di Pangkal Pinang dijemput sama Gaddys dan Judas, teman-temannya Mak.

Rencananya kita akan tinggal 3 hari 2 malam di Bangka. Malam pertama tinggal di Parai Resort di Sungailiat, dan malam berikutnya di rumah Gaddys di Pangkal Pinang. Rate Parai Resort Rp. 480 ribu/mlm (setelah diskon 50% untuk corporate rate).

Dari airport, kita langsung dibawa makan mie koba di Sungailiat. Mie disajikan dalam kuah ikan berbumbu kecap. Daging ikan dalam kuah hampir tak terasa karena sudah disuwir halus. Kuah yang terasa manis, ditambah perasan jeruk nipis dan sambal, nikmatnya sampai Korob@ nambah 1 porsi lagi.

Satu porsi mie koba seharga Rp. 8.000,-. Di meja tersaji telur rebus yang masih utuh seharga Rp. 2.000,-/butir. Mungkin telur rebus bagi orang Bangka seperti kerupuk bagi orang Jakarta.

Setelah menu mie, Gaddys membawa kita ke toko roti panggang. Roti Tungtao namanya, terletak di persimpangan Jl. Muhidin no. 87, Sungailiat. Menunya berupa roti panggang aneka isi, seperti telur, keju, coklat, selai nenas.

Ditilik dari bentuk warungnya, saya tidak yakin rasa rotinya lebih spesial dari toko roti di Jakarta. Tapi, memang benar kata Gaddys, rotinya memang beda. Like it from the first bite. Entah apa rahasianya, roti panggang isi telur yang saya makan terasa nikmat meski tanpa cipratan mayonaise dan saus tomat, tipikal sandwich Jakarta.

Selesai dari toko roti, kita meluncur ke “Parai Resort”. Terpaan angin laut yang hangat menyapu wajah saya saat turun dari mobil. Oh, I miss beach a lot. Ingin rasanya saya segera turun ke pantai dan membenamkan kedua kakiku dalam pasir yang hangat dan basah.

Tetapi, Gaddys berencana lain. Setelah kami check-in dan menaruh semua barang-barang, Gaddys membawa kita ke Pantai Tanjung Kelayang, tidak jauh dari Parai Resort. Rencananya Tanjung Kelayang dihidangkan sebagai menu pembuka, sementara Pantai Parai dinikmati sebagai main course di hari kedua.

Tanjung Kelayang seperti sebuah secret gateway. Jalan menuju ke sana pun masih jalan bersemak yang hanya dapat dilewati satu mobil, mengingatkan saya pada jalan menuju Pantai Dreamland di Bali.

Begitu turun dari mobil, segera kami menghambur menuju pantai. Sepi dan seperti pantai pribadi bagi kami. Tidak ada pengunjung lain, hanya kami berenam. Untungnya Korob@ ternyata hobby foto, pegang kamera SLRD Canon, sehingga saya berkesempatan difoto, bukan cuma memoto.


Batu-batu berukuran besar terserak di pinggir pantai. Rasanya saya ingin memanjat ke puncak batu yang besar dan merasakan pecahnya ombak di atasnya. Matahari sore jatuh ke celah-celah batu besar dan kecil, sempurna 45 derajat, seolah terdengar sahutan “fotolah saya, inilah rembrant yang sempurna”.

Setelah puas memoto dan difoto dengan berbagai gaya dan posisi, kami pergi saat menjelang gelap. Kami pun kembali ke penginapan untuk menikmati view malam di sekitarnya.

Permainan cahaya lampu di sekitar penginapan tampak sayang dilewatkan tanpa foto-foto. Berusaha mengejar biru tuanya langit menjelang gelap, yang dipadukan dengan cahaya lampu sepanjang jalan. Indah meski mungkin agak blur kalau difoto.

Kami pun mencari tempat untuk makan malam di luar penginapan. Karena sudah lapar, maka pilihan makan malam dilakukan secara acak, apa saja yang kita lewati. Pilihan jatuh pada warung tenda pinggir jalan, ikan & ayam bakar, Cak Biran Lamongan di Jl. Muhidin.

Nasi ditemani kakap dan ayam bakar, tahu dan tempe serta cah kangkung, kami makan dengan lahap. Total tagihan Rp. 137 ribu, kenyang berenam. Setelah itu kami kembali ke penginapan. Gaddys dan Judas kembali ke Pangkal Pinang.

Setelah didrop di penginapan, tinggal kami berempat. Jalan menuju cottage terasa dramatis. Indahnya laut malam terpantul remang bulan penuh. Malam itu purnama. Saya tidak tahan untuk tidak merekamnya dalam Canonku. Ternyata korob@ juga.

Angin berhembus kencang dari laut, softlens terasa kering di mata. Tapi hamparan pemandangan laut dengan bulan penuh itu membuatku gila, sungguh dramatis. Ingin merengkuh pemandangan sendu itu lekat-lekat dalam hatiku.

Ingatanku jatuh pada satu setting di film “Vicky Christina Barcelona” . Malam waktu Vicky dan Juan Antonio pergi berdua, mereka menonton seseorang memainkan gitar solo. Penontonnya hanya beberapa orang, dan hening. Di gazebo dalam taman yang remang romantis, sang pemainnya menikmati petikan gitarnya mengalunkan lagu klasik.


If only I can have it here. Dalam remang gazebo, dan terpaan angin dari laut yang memantulkan cahaya bulan penuh, lagu klasik apapun akan terdengar sempurna. I’ll request “Canon in D”. Or maybe Vivaldi’s.

Usai foto, kami pun menuju cottage. Kamar tidur kecil untuk kami berempat, namun kamar mandinya luas sekali. Bath-tubnya bisa untuk berendam satu keluarga, lengkap dengan dua wastafel (what for?).

Malam itu, entah mengapa susah sekali untuk saya melelapkan diri. Antara mimpi dan imajinasi, dalam ambang tidur dan sadar, saya berfantasi liar. Tidak pantas untuk saya cerita lebih lanjut. Saya tenang saat terbangun dan tahu itu ternyata cuma mimpi. (Benarkah kata Judas, di Pulau Bangka magic masih sangat kuat?)

Hari kedua, Minggu, saya bangun pertama, bahkan sebelum alarm hp berbunyi. Saya sudah tidak ingin tidur lagi. Sungguh malam panjang yang susah dilewati. Saya segera bersiap, ingin hunting foto sekitar pantai.

Parai indah di pagi hari. Saya menjelajah sampai ke balik restoran ujung. Penuh batu besar dan ternyata matahari terbit dari pantai di baliknya. Menghadap timur rupanya batu-batu itu.

Tidak mudah mencapai batu tinggi di atas. Ada tumbuhan serupa pandan berduri menghadang jalan, di samping batu-batu tajam maupun batu yang licin. Kakiku sempat tergores luka di salah satu batu hitam bercak putih.
















Tapi pemandangan di atas sana sungguh indah. Terik matahari pagi menyiram batu-batu besar. Saya menengadah ke atas dan tampak birunya langit yang menyejukkan hati. Kunikmati kilau cahaya yang memaksaku menyipitkan mata, kurasakan dalam-dalam hangatnya pada tubuhku.

Saya kembali menuju pantai pasir sekitar cottage. Menikmati kesendirianku. Kuhirup dalam-dalam asinnya angin laut. Pasir dalam genggaman, basah dan berai. Telentang di atas pasir, kutatap lagi langit luas di atas. Gradasi biru.

Samar-samar Mak memanggil, mengajak bergabung bersama dia, Korob@ dan Xtin. Lalu kami bermain ombak. Tidak ada water sport apapun, tidak banana boat atau pun rental body board.

Saya berusaha membabtis Mak, tapi dasar wanita perkasa, dia tetap berdiri tegak meski saya telah memanjat ke atasnya untuk menceburkan dia dalam ombak. Ombak saat itu cukup bersahabat, tapi karena tidak ada body board, tidak banyak yang bisa dilakukan.

Usai bermain di pantai dan mandi, kami terburu-buru menuju restoran hotel untuk breakfast, yang akan berakhir jam 10.00. Kami punya waktu setengah jam untuk sarapan sebelum mereka membereskan meja.

Tidak perlu waktu lama untuk sarapan, karena menu yang ada tidak banyak dan rasanya pun standard sekali. Saya memilih sereal coco crunch sebagai pembuka. Selebihnya saya makan bubur dan jus buah.

Gaddys dan Judas datang menjemput. Kami meluncur ke Tanjung Pesona, dan dikenai biaya Rp.10 ribu/orang. Ada taman bermain anak-anak, ada ayunan, jungkat-jangkit dan komidi putar manual yang sudah reot.

Kursi ayunan menggoda untuk diduduki. Segera saya memposisikan tubuh ke atas kursi ayunan. Kembali kita sibuk berfoto. Tidak banyak yang bisa dilakukan di sana karena hari masih panas.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Pemali, tempat berendam air panas. Tiket masuk Rp. 15 ribu/orang. Sempat ragu untuk masuk awalnya, karena dari luar tampaknya seperti arena kolam renang biasa. Tetapi, di dalamnya ternyata cukup luas, isinya tidak hanya kolam renang saja.

Korob@ langsung masuk ke dalam kolam rendam air panas. Sementara saya dan Xtin hanya merendam kaki sebatas betis, malas untuk membasahi badan. Mak, Gaddys dan Judas pergi ke arah perahu bebek tadi. We splitted.

Ngobrol santai dengan kaki terendam air panas. One tub with one old friend and one new friend, hm...strangely fun. Setelah itu, kami sempat jalan-jalan ke taman, yang ternyata dibuat konsep seperti little zoo, ada orangutan, monyet, elang, ular dan beruang madu.

Sorenya, kami menyempatkan diri singgah sebentar di gereja Sungailiat. Misa hanya ada sekali di hari Minggu jam 7.45 am. Berbincang singkat dengan orang-orang gereja, yang ramah dan welcome.

Menjelang malam, Gaddys membawa kami untuk makan otak-otak Bangka. Judas ditinggal karena mau buka puasa bersama keluarganya. Otak-otak disajikan dalam beberapa pilihan, goreng, bakar atau rebus.

Yang menspesialkan otak-otak Bangka dari yang ada di Jakarta adalah bumbunya. Bumbu otak-otaknya bukan bumbu kacang, melainkan sambal tauco. Favorite saya otak-otak goreng dicocol sambal tauco. Harga Rp. 1.000/piece. Minumannya es kacang merah, rasanya standard saja, harga tidak terdata.

Setelah itu kami menuju ke kontrakan Gaddys. Rumah kecil sederhana, dengan 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Meski sempit dan remang, tapi saya cukup comfort karena warm and welcome-nya Gaddys terhadap kami.

Usai mandi, kami bersiap untuk makan malam. Gaddys mengajak kita ke Istana Laut Restaurant, yang terletak di pinggir Pantai Pasir Padi. Keunikan pantai ini adalah pasirnya yang padat sehingga mobil dan motor pun masih bisa melewati pinggiran pantai.

Restoran dirancang serupa kapal. Pada sisi yang menghadap laut, interior restoran membentuk ujung haluan kapal. Lagi-lagi, saya tergila-gila saat melihat sendunya pemandangan laut malam yang terpantul cahaya bulan penuh. Romantis.

Gaddys merekomendasikan menu ikan pari dimasak lempah, ikan jebung bakar, dan sisanya menu seafood standard Jakarta. Lempah merupakan cara masak special Bangka. Ada lempah darat, berupa daging yang dimasak bumbu lempah;dan ada lempah laut, yaitu ikan, udang atau seafood lainnya yang dimasak bumbu lempah.

Waktu disajikan, ternyata ikan lempah itu semacam masakan kuah kuning dengan potongan daging ikan di dalamnya. Kata teman-teman, rasanya seperti kuah sayur asem.

Menurut saya, menu ini mirip sekali dengan menu orang khek kalimantan, Mun Son Ng. Bedanya, Mun Son Ng lebih berminyak dan ada potongan nenasnya. Perpaduan asam manis dan disusul oleh rasa pedas di ujungnya, really kicked my appetite. Yummy…

Ikan jebung bakar tidak senikmat kelihatannya, beruntung ada kepiting soka yang krispi. Setelah disengat asam pedasnya kuah lempah, lidah saya kemudian disapu dengan es kelapa muda. Sempurna deh makan malamnya.

Setelah itu, Mak mendesak untuk karaoke di atas panggung. Akhirnya kami bertiga, (Mak, Xtin dan saya) menyanyikan tiga tembang yang sumbang kepada tiga pendengar yang hampir mau tumbang. Pemain keyboardnya pun tampak bimbang.

Dengan raga-ragu dan malu-malu, kami menembangkan Sway sebagai pembuka. Lagu berikutnya, Killing Me Softly, dan semakin terbit nyali kami meski penonton tampak geli. Terakhir, kami melantunkan lagu mandarin Yue Liang Dai Biau Wo De Xin. Pemain keyboard tampak lega saat kami melangkah turun dari panggung.

Malamnya, saya (alhamdulilah) tidur nyenyak kamarnya Gaddys yang mungil dan tanpa AC. Ironis memang. Keesokannya, saya yang bangun terakhir.

Hari ketiga, Senin, hari terakhir. Gaddys dan Judas kerja sehingga kami jalan berempat. Berangkat pagi-pagi jam 6.15 meluncur ke Muntok, tempat Bung Karno pernah diasingkan. Korob@ menyetir hi-speed, karena waktu kami tidak banyak, flight pulang jam 16.20.

Dalam waktu tempuh 2 jam, kami tiba di Muntok dalam kondisi kelaparan. Kami tidak menemukan tempat makan di sepanjang jalan menuju Muntok. Segera kami cari warung makan begitu tiba.

Pilihan jatuh pada warung mie Bangka di sebuah ruko. Yang punya adalah orang khek, nyonya gemuk yang berapi-api. Mengerikan melihat dia berbicara, tampak kasar dan galak, padahal teman-teman mendesak saya menanyakan arah jalan kepadanya (dalam bahasa khek tentunya). Sial.

Setelah merangkai kata tanya yang sopan dalam pikiran saya, akhirnya nyali saya hanya mentok untuk bertanya pada karyawannya yang bertugas membersihkan meja. Saya menanyakan arah ke “Rumah Mayor” yang konon, patut dikunjungi.

Rumah mayor adalah sebuah rumah tua yang besar. Tidak terlalu menarik karena kami tidak dapat masuk ke dalamnya. Tampaknya itu masih menjadi tempat tinggal bagi penghuninya, padahal kami mengira itu sudah dimuseumkan.

Kami kemudian meluncur ke Pesanggerahan, Muntok. Sebuah gedung tua di pinggir jalan yang dijadikan museum. Tempat Bung Karno pernah diasingkan. Hampir tidak ada apa-apa yang bisa dilihat di sana. Hanya bangunan tua dengan sepenggal sejarah. Tidak dipungut biaya untuk museum ini.















Setelah itu, Hotel Jati Menumbing menjadi tujuan berikutnya. Hotel Jati Menumbing merupakan museum juga, tempat Bung Karno diasingkan juga. Letaknya lebih terpencil dan memasuki areal yang lebih tinggi, Gunung Menumbing.

Tidak terlalu susah mencarinya, hanya mata perlu melihat lebih awas karena sign yang ada sudah usang dan tulisannya agak kabur. Tiba di Jati Menumbing, udara sejuk datang menyambut.

Tiket masuk Rp.2 ribu/orang dan Rp. 10 ribu/mobil. Di dalam terdapat ruang meeting jaman dulu, kemudian mobil, ruang kerja dan kamar tidur yang pernah ditempati Bung Karno.

Di lantai dua gedung tersebut menghadirkan pesona alam yang lebih menarik. Pemandangan dari ketinggian, pepohonan hijau berpadu dengan langit biru. Angin sejuk dan matahari terik. Kami mengabadikan beberapa pose a la anak band di roof top.

Setelah itu, kami menuju ke Mercusuar di Tanjung Kalian, dekat pelabuhan. Mercusuar dengan beberapa ratus anak tangga, dibangun sejak 1862. Kami menjelajah tiap anak tangga sampai ke puncaknya.

Dari puncak mercusuar, pemandangan laut luas terhampar lebih dari 180 derajat. Rasanya bagai dikelilingi laut. Garis horison batas laut dan langit tampak bias. Hijau, tosca dan biru. Tiga warna bercampur melukis langit dan laut.

Mercusuar adalah spot terakhir kami sebelum kembali ke Pangkal Pinang. Tiba di Pangkal Pinang sore sekitar jam 2 lewat. Kami menyempatkan diri melewati Gereja Katedral, menikmati eksteriornya sekilas.
Kami berencana lunch di Mr. Asui, konon masakan seafoodnya enak. Tiba di sana sekitar jam 3 kurang. Saya agak was-was dengan waktu yang semakin tipis menjelang jam penerbangan kami.

Selesai makan, kami meninggalkan restoran sekitar jam 3.30 pm, yang jika di Jakarta sudah seharusnya kita menuju boarding room. Kami bertemu Gaddys dan Judas (jam kerja yang bebas?). Gaddys meyakinkan kalau kita masih sempat karena airportnya dekat.

Telepon masuk ke hp saya tepat saat mobil saya berhenti di depan airport Pati Amir. Dari Mandala Airlines, menanyakan posisi saya saat itu di mana dan saya diingatkan untuk segera check in. Profesional juga untuk flight seharga Rp. 365 ribu/orang.

Kami check-in terburu-buru, karena saya masih ingin membeli babi panggang di seberang airport, yang katanya enak sekali. Keluar dari pelataran parkir airport, kami disambut seorang ngko.

Ternyata dia menawarkan babi panggang. Mereka berjualan tepat di seberang airport. Nongkrong pada motor masing-masing dan ramai berebut pelanggan. Babi panggang dikeluarkan dari box yang dipasang di belakang motor.

Looked oily, and crispy. Smelled good too. Dia membuka harga Rp. 150 ribu/kg. Akhirnya kami deal di harga Rp. 120 ribu/kg, setelah saya menawar dalam bahasa khek pamungkas.

Setelah bertransaksi, kami pun segera masuk kembali ke airport. Ternyata Gaddys sudah menenteng satu box berisi kerupuk oleh-oleh khas Bangka. So sweet and touchy. Kami berpisah sambil berucap terima kasih dan permohonan maaf untuk kerepotan mereka.

Kami penumpang terakhir yang masuk ke pesawat. Pesawat take off lebih cepat dari jadwal (how come?). Sepertinya inilah habbit maskapai penerbangan dengan tarif murah. Unpredicted, telat sudah biasa, lebih cepat juga bisa. Sooner is better, later doesn’t matter.

Tiba di Jakarta hampir jam 5 pm. Berjalan santai menikmati terminal 3 yang masih baru. Saya dan Xtin searah menuju rumah, sementara Mak dan Korob@ mau ikut religion course mereka jam 6 pm.

Home sweet home. Hampir jam 7 pm tiba di rumah. My bro rushly unpacked the roasted pork. Saya tidak sabar menunggu esok untuk memperlihatkan pada teman-teman foto-foto di Bangka. I’m sure I’ll be back another day.