Thursday, September 17, 2009

Lepas Lelah ke Pulau Bangka

Diawali dengan teriakan mami bos mendesak closing penjualan asuransi (sementara saya hanyalah staff bank yang tidak paham asuransi), kemudian Mak muncul dengan ide dadakannya mengajak saya jalan-jalan ke Bangka, akhirnya saya melihat ini sebagai sign dari Tuhan yang mungkin bersabda kepada saya,”Its time for you to take a break. Let me take over your burden for a while”.

Hari Pertama
So, Sabtu pertama bulan September 09, terbanglah saya, Xtin, Mak, dan Korob@ ke Bangka. Kombinasi peserta yang tidak lazim memang, 3 female versus 1 male, fresh meat. Kehadiran Korob@ memberi warna tersendiri dalam trip ini (and lets discuss it deeper in other feature).

Terbang dari Jakarta-Pangkal Pinang dengan Lion Air dengan tiket seharga Rp.299 ribu. Pesawat siang, dan waktu tempuh pesawat cukup singkat, kurang dari 1 jam. Tiba di Pangkal Pinang dijemput sama Gaddys dan Judas, teman-temannya Mak.

Rencananya kita akan tinggal 3 hari 2 malam di Bangka. Malam pertama tinggal di Parai Resort di Sungailiat, dan malam berikutnya di rumah Gaddys di Pangkal Pinang. Rate Parai Resort Rp. 480 ribu/mlm (setelah diskon 50% untuk corporate rate).

Dari airport, kita langsung dibawa makan mie koba di Sungailiat. Mie disajikan dalam kuah ikan berbumbu kecap. Daging ikan dalam kuah hampir tak terasa karena sudah disuwir halus. Kuah yang terasa manis, ditambah perasan jeruk nipis dan sambal, nikmatnya sampai Korob@ nambah 1 porsi lagi.

Satu porsi mie koba seharga Rp. 8.000,-. Di meja tersaji telur rebus yang masih utuh seharga Rp. 2.000,-/butir. Mungkin telur rebus bagi orang Bangka seperti kerupuk bagi orang Jakarta.

Setelah menu mie, Gaddys membawa kita ke toko roti panggang. Roti Tungtao namanya, terletak di persimpangan Jl. Muhidin no. 87, Sungailiat. Menunya berupa roti panggang aneka isi, seperti telur, keju, coklat, selai nenas.

Ditilik dari bentuk warungnya, saya tidak yakin rasa rotinya lebih spesial dari toko roti di Jakarta. Tapi, memang benar kata Gaddys, rotinya memang beda. Like it from the first bite. Entah apa rahasianya, roti panggang isi telur yang saya makan terasa nikmat meski tanpa cipratan mayonaise dan saus tomat, tipikal sandwich Jakarta.

Selesai dari toko roti, kita meluncur ke “Parai Resort”. Terpaan angin laut yang hangat menyapu wajah saya saat turun dari mobil. Oh, I miss beach a lot. Ingin rasanya saya segera turun ke pantai dan membenamkan kedua kakiku dalam pasir yang hangat dan basah.

Tetapi, Gaddys berencana lain. Setelah kami check-in dan menaruh semua barang-barang, Gaddys membawa kita ke Pantai Tanjung Kelayang, tidak jauh dari Parai Resort. Rencananya Tanjung Kelayang dihidangkan sebagai menu pembuka, sementara Pantai Parai dinikmati sebagai main course di hari kedua.

Tanjung Kelayang seperti sebuah secret gateway. Jalan menuju ke sana pun masih jalan bersemak yang hanya dapat dilewati satu mobil, mengingatkan saya pada jalan menuju Pantai Dreamland di Bali.

Begitu turun dari mobil, segera kami menghambur menuju pantai. Sepi dan seperti pantai pribadi bagi kami. Tidak ada pengunjung lain, hanya kami berenam. Untungnya Korob@ ternyata hobby foto, pegang kamera SLRD Canon, sehingga saya berkesempatan difoto, bukan cuma memoto.


Batu-batu berukuran besar terserak di pinggir pantai. Rasanya saya ingin memanjat ke puncak batu yang besar dan merasakan pecahnya ombak di atasnya. Matahari sore jatuh ke celah-celah batu besar dan kecil, sempurna 45 derajat, seolah terdengar sahutan “fotolah saya, inilah rembrant yang sempurna”.

Setelah puas memoto dan difoto dengan berbagai gaya dan posisi, kami pergi saat menjelang gelap. Kami pun kembali ke penginapan untuk menikmati view malam di sekitarnya.

Permainan cahaya lampu di sekitar penginapan tampak sayang dilewatkan tanpa foto-foto. Berusaha mengejar biru tuanya langit menjelang gelap, yang dipadukan dengan cahaya lampu sepanjang jalan. Indah meski mungkin agak blur kalau difoto.

Kami pun mencari tempat untuk makan malam di luar penginapan. Karena sudah lapar, maka pilihan makan malam dilakukan secara acak, apa saja yang kita lewati. Pilihan jatuh pada warung tenda pinggir jalan, ikan & ayam bakar, Cak Biran Lamongan di Jl. Muhidin.

Nasi ditemani kakap dan ayam bakar, tahu dan tempe serta cah kangkung, kami makan dengan lahap. Total tagihan Rp. 137 ribu, kenyang berenam. Setelah itu kami kembali ke penginapan. Gaddys dan Judas kembali ke Pangkal Pinang.

Setelah didrop di penginapan, tinggal kami berempat. Jalan menuju cottage terasa dramatis. Indahnya laut malam terpantul remang bulan penuh. Malam itu purnama. Saya tidak tahan untuk tidak merekamnya dalam Canonku. Ternyata korob@ juga.

Angin berhembus kencang dari laut, softlens terasa kering di mata. Tapi hamparan pemandangan laut dengan bulan penuh itu membuatku gila, sungguh dramatis. Ingin merengkuh pemandangan sendu itu lekat-lekat dalam hatiku.

Ingatanku jatuh pada satu setting di film “Vicky Christina Barcelona” . Malam waktu Vicky dan Juan Antonio pergi berdua, mereka menonton seseorang memainkan gitar solo. Penontonnya hanya beberapa orang, dan hening. Di gazebo dalam taman yang remang romantis, sang pemainnya menikmati petikan gitarnya mengalunkan lagu klasik.


If only I can have it here. Dalam remang gazebo, dan terpaan angin dari laut yang memantulkan cahaya bulan penuh, lagu klasik apapun akan terdengar sempurna. I’ll request “Canon in D”. Or maybe Vivaldi’s.

Usai foto, kami pun menuju cottage. Kamar tidur kecil untuk kami berempat, namun kamar mandinya luas sekali. Bath-tubnya bisa untuk berendam satu keluarga, lengkap dengan dua wastafel (what for?).

Malam itu, entah mengapa susah sekali untuk saya melelapkan diri. Antara mimpi dan imajinasi, dalam ambang tidur dan sadar, saya berfantasi liar. Tidak pantas untuk saya cerita lebih lanjut. Saya tenang saat terbangun dan tahu itu ternyata cuma mimpi. (Benarkah kata Judas, di Pulau Bangka magic masih sangat kuat?)

Hari kedua, Minggu, saya bangun pertama, bahkan sebelum alarm hp berbunyi. Saya sudah tidak ingin tidur lagi. Sungguh malam panjang yang susah dilewati. Saya segera bersiap, ingin hunting foto sekitar pantai.

Parai indah di pagi hari. Saya menjelajah sampai ke balik restoran ujung. Penuh batu besar dan ternyata matahari terbit dari pantai di baliknya. Menghadap timur rupanya batu-batu itu.

Tidak mudah mencapai batu tinggi di atas. Ada tumbuhan serupa pandan berduri menghadang jalan, di samping batu-batu tajam maupun batu yang licin. Kakiku sempat tergores luka di salah satu batu hitam bercak putih.
















Tapi pemandangan di atas sana sungguh indah. Terik matahari pagi menyiram batu-batu besar. Saya menengadah ke atas dan tampak birunya langit yang menyejukkan hati. Kunikmati kilau cahaya yang memaksaku menyipitkan mata, kurasakan dalam-dalam hangatnya pada tubuhku.

Saya kembali menuju pantai pasir sekitar cottage. Menikmati kesendirianku. Kuhirup dalam-dalam asinnya angin laut. Pasir dalam genggaman, basah dan berai. Telentang di atas pasir, kutatap lagi langit luas di atas. Gradasi biru.

Samar-samar Mak memanggil, mengajak bergabung bersama dia, Korob@ dan Xtin. Lalu kami bermain ombak. Tidak ada water sport apapun, tidak banana boat atau pun rental body board.

Saya berusaha membabtis Mak, tapi dasar wanita perkasa, dia tetap berdiri tegak meski saya telah memanjat ke atasnya untuk menceburkan dia dalam ombak. Ombak saat itu cukup bersahabat, tapi karena tidak ada body board, tidak banyak yang bisa dilakukan.

Usai bermain di pantai dan mandi, kami terburu-buru menuju restoran hotel untuk breakfast, yang akan berakhir jam 10.00. Kami punya waktu setengah jam untuk sarapan sebelum mereka membereskan meja.

Tidak perlu waktu lama untuk sarapan, karena menu yang ada tidak banyak dan rasanya pun standard sekali. Saya memilih sereal coco crunch sebagai pembuka. Selebihnya saya makan bubur dan jus buah.

Gaddys dan Judas datang menjemput. Kami meluncur ke Tanjung Pesona, dan dikenai biaya Rp.10 ribu/orang. Ada taman bermain anak-anak, ada ayunan, jungkat-jangkit dan komidi putar manual yang sudah reot.

Kursi ayunan menggoda untuk diduduki. Segera saya memposisikan tubuh ke atas kursi ayunan. Kembali kita sibuk berfoto. Tidak banyak yang bisa dilakukan di sana karena hari masih panas.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Pemali, tempat berendam air panas. Tiket masuk Rp. 15 ribu/orang. Sempat ragu untuk masuk awalnya, karena dari luar tampaknya seperti arena kolam renang biasa. Tetapi, di dalamnya ternyata cukup luas, isinya tidak hanya kolam renang saja.

Korob@ langsung masuk ke dalam kolam rendam air panas. Sementara saya dan Xtin hanya merendam kaki sebatas betis, malas untuk membasahi badan. Mak, Gaddys dan Judas pergi ke arah perahu bebek tadi. We splitted.

Ngobrol santai dengan kaki terendam air panas. One tub with one old friend and one new friend, hm...strangely fun. Setelah itu, kami sempat jalan-jalan ke taman, yang ternyata dibuat konsep seperti little zoo, ada orangutan, monyet, elang, ular dan beruang madu.

Sorenya, kami menyempatkan diri singgah sebentar di gereja Sungailiat. Misa hanya ada sekali di hari Minggu jam 7.45 am. Berbincang singkat dengan orang-orang gereja, yang ramah dan welcome.

Menjelang malam, Gaddys membawa kami untuk makan otak-otak Bangka. Judas ditinggal karena mau buka puasa bersama keluarganya. Otak-otak disajikan dalam beberapa pilihan, goreng, bakar atau rebus.

Yang menspesialkan otak-otak Bangka dari yang ada di Jakarta adalah bumbunya. Bumbu otak-otaknya bukan bumbu kacang, melainkan sambal tauco. Favorite saya otak-otak goreng dicocol sambal tauco. Harga Rp. 1.000/piece. Minumannya es kacang merah, rasanya standard saja, harga tidak terdata.

Setelah itu kami menuju ke kontrakan Gaddys. Rumah kecil sederhana, dengan 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Meski sempit dan remang, tapi saya cukup comfort karena warm and welcome-nya Gaddys terhadap kami.

Usai mandi, kami bersiap untuk makan malam. Gaddys mengajak kita ke Istana Laut Restaurant, yang terletak di pinggir Pantai Pasir Padi. Keunikan pantai ini adalah pasirnya yang padat sehingga mobil dan motor pun masih bisa melewati pinggiran pantai.

Restoran dirancang serupa kapal. Pada sisi yang menghadap laut, interior restoran membentuk ujung haluan kapal. Lagi-lagi, saya tergila-gila saat melihat sendunya pemandangan laut malam yang terpantul cahaya bulan penuh. Romantis.

Gaddys merekomendasikan menu ikan pari dimasak lempah, ikan jebung bakar, dan sisanya menu seafood standard Jakarta. Lempah merupakan cara masak special Bangka. Ada lempah darat, berupa daging yang dimasak bumbu lempah;dan ada lempah laut, yaitu ikan, udang atau seafood lainnya yang dimasak bumbu lempah.

Waktu disajikan, ternyata ikan lempah itu semacam masakan kuah kuning dengan potongan daging ikan di dalamnya. Kata teman-teman, rasanya seperti kuah sayur asem.

Menurut saya, menu ini mirip sekali dengan menu orang khek kalimantan, Mun Son Ng. Bedanya, Mun Son Ng lebih berminyak dan ada potongan nenasnya. Perpaduan asam manis dan disusul oleh rasa pedas di ujungnya, really kicked my appetite. Yummy…

Ikan jebung bakar tidak senikmat kelihatannya, beruntung ada kepiting soka yang krispi. Setelah disengat asam pedasnya kuah lempah, lidah saya kemudian disapu dengan es kelapa muda. Sempurna deh makan malamnya.

Setelah itu, Mak mendesak untuk karaoke di atas panggung. Akhirnya kami bertiga, (Mak, Xtin dan saya) menyanyikan tiga tembang yang sumbang kepada tiga pendengar yang hampir mau tumbang. Pemain keyboardnya pun tampak bimbang.

Dengan raga-ragu dan malu-malu, kami menembangkan Sway sebagai pembuka. Lagu berikutnya, Killing Me Softly, dan semakin terbit nyali kami meski penonton tampak geli. Terakhir, kami melantunkan lagu mandarin Yue Liang Dai Biau Wo De Xin. Pemain keyboard tampak lega saat kami melangkah turun dari panggung.

Malamnya, saya (alhamdulilah) tidur nyenyak kamarnya Gaddys yang mungil dan tanpa AC. Ironis memang. Keesokannya, saya yang bangun terakhir.

Hari ketiga, Senin, hari terakhir. Gaddys dan Judas kerja sehingga kami jalan berempat. Berangkat pagi-pagi jam 6.15 meluncur ke Muntok, tempat Bung Karno pernah diasingkan. Korob@ menyetir hi-speed, karena waktu kami tidak banyak, flight pulang jam 16.20.

Dalam waktu tempuh 2 jam, kami tiba di Muntok dalam kondisi kelaparan. Kami tidak menemukan tempat makan di sepanjang jalan menuju Muntok. Segera kami cari warung makan begitu tiba.

Pilihan jatuh pada warung mie Bangka di sebuah ruko. Yang punya adalah orang khek, nyonya gemuk yang berapi-api. Mengerikan melihat dia berbicara, tampak kasar dan galak, padahal teman-teman mendesak saya menanyakan arah jalan kepadanya (dalam bahasa khek tentunya). Sial.

Setelah merangkai kata tanya yang sopan dalam pikiran saya, akhirnya nyali saya hanya mentok untuk bertanya pada karyawannya yang bertugas membersihkan meja. Saya menanyakan arah ke “Rumah Mayor” yang konon, patut dikunjungi.

Rumah mayor adalah sebuah rumah tua yang besar. Tidak terlalu menarik karena kami tidak dapat masuk ke dalamnya. Tampaknya itu masih menjadi tempat tinggal bagi penghuninya, padahal kami mengira itu sudah dimuseumkan.

Kami kemudian meluncur ke Pesanggerahan, Muntok. Sebuah gedung tua di pinggir jalan yang dijadikan museum. Tempat Bung Karno pernah diasingkan. Hampir tidak ada apa-apa yang bisa dilihat di sana. Hanya bangunan tua dengan sepenggal sejarah. Tidak dipungut biaya untuk museum ini.















Setelah itu, Hotel Jati Menumbing menjadi tujuan berikutnya. Hotel Jati Menumbing merupakan museum juga, tempat Bung Karno diasingkan juga. Letaknya lebih terpencil dan memasuki areal yang lebih tinggi, Gunung Menumbing.

Tidak terlalu susah mencarinya, hanya mata perlu melihat lebih awas karena sign yang ada sudah usang dan tulisannya agak kabur. Tiba di Jati Menumbing, udara sejuk datang menyambut.

Tiket masuk Rp.2 ribu/orang dan Rp. 10 ribu/mobil. Di dalam terdapat ruang meeting jaman dulu, kemudian mobil, ruang kerja dan kamar tidur yang pernah ditempati Bung Karno.

Di lantai dua gedung tersebut menghadirkan pesona alam yang lebih menarik. Pemandangan dari ketinggian, pepohonan hijau berpadu dengan langit biru. Angin sejuk dan matahari terik. Kami mengabadikan beberapa pose a la anak band di roof top.

Setelah itu, kami menuju ke Mercusuar di Tanjung Kalian, dekat pelabuhan. Mercusuar dengan beberapa ratus anak tangga, dibangun sejak 1862. Kami menjelajah tiap anak tangga sampai ke puncaknya.

Dari puncak mercusuar, pemandangan laut luas terhampar lebih dari 180 derajat. Rasanya bagai dikelilingi laut. Garis horison batas laut dan langit tampak bias. Hijau, tosca dan biru. Tiga warna bercampur melukis langit dan laut.

Mercusuar adalah spot terakhir kami sebelum kembali ke Pangkal Pinang. Tiba di Pangkal Pinang sore sekitar jam 2 lewat. Kami menyempatkan diri melewati Gereja Katedral, menikmati eksteriornya sekilas.
Kami berencana lunch di Mr. Asui, konon masakan seafoodnya enak. Tiba di sana sekitar jam 3 kurang. Saya agak was-was dengan waktu yang semakin tipis menjelang jam penerbangan kami.

Selesai makan, kami meninggalkan restoran sekitar jam 3.30 pm, yang jika di Jakarta sudah seharusnya kita menuju boarding room. Kami bertemu Gaddys dan Judas (jam kerja yang bebas?). Gaddys meyakinkan kalau kita masih sempat karena airportnya dekat.

Telepon masuk ke hp saya tepat saat mobil saya berhenti di depan airport Pati Amir. Dari Mandala Airlines, menanyakan posisi saya saat itu di mana dan saya diingatkan untuk segera check in. Profesional juga untuk flight seharga Rp. 365 ribu/orang.

Kami check-in terburu-buru, karena saya masih ingin membeli babi panggang di seberang airport, yang katanya enak sekali. Keluar dari pelataran parkir airport, kami disambut seorang ngko.

Ternyata dia menawarkan babi panggang. Mereka berjualan tepat di seberang airport. Nongkrong pada motor masing-masing dan ramai berebut pelanggan. Babi panggang dikeluarkan dari box yang dipasang di belakang motor.

Looked oily, and crispy. Smelled good too. Dia membuka harga Rp. 150 ribu/kg. Akhirnya kami deal di harga Rp. 120 ribu/kg, setelah saya menawar dalam bahasa khek pamungkas.

Setelah bertransaksi, kami pun segera masuk kembali ke airport. Ternyata Gaddys sudah menenteng satu box berisi kerupuk oleh-oleh khas Bangka. So sweet and touchy. Kami berpisah sambil berucap terima kasih dan permohonan maaf untuk kerepotan mereka.

Kami penumpang terakhir yang masuk ke pesawat. Pesawat take off lebih cepat dari jadwal (how come?). Sepertinya inilah habbit maskapai penerbangan dengan tarif murah. Unpredicted, telat sudah biasa, lebih cepat juga bisa. Sooner is better, later doesn’t matter.

Tiba di Jakarta hampir jam 5 pm. Berjalan santai menikmati terminal 3 yang masih baru. Saya dan Xtin searah menuju rumah, sementara Mak dan Korob@ mau ikut religion course mereka jam 6 pm.

Home sweet home. Hampir jam 7 pm tiba di rumah. My bro rushly unpacked the roasted pork. Saya tidak sabar menunggu esok untuk memperlihatkan pada teman-teman foto-foto di Bangka. I’m sure I’ll be back another day.